jump to navigation

Gerakan Sosial Sebagai ‘Bisnis’ (2) Agustus 17, 2010

Posted by anditoaja in Politik.
trackback

Setiap gerakan sosial, apakah bentuknya terbuka atau tertutup, punya hukum standar: bahwa segala hal yang mengurusi manusia tidak bisa dikalkulasi matematis dan dihipotesiskan secara ilmiah. Banyak variabel yang mudah memporakporandakan segala agenda. Sehingga, menumpukan diri hanya pada satu asumsi/perspektif/proyeksi bisnis (profit) sangat berbahaya. Gerakan akan aman bila mempunyai kaki sebanyak sektor yang digarapnya dengan kualitas yang sama kuat.

Memilih gerakan sosial yang cocok tidak boleh hanya bersandar kepada teori-teori gerakan, yang sekadar menyisakan wacana an sich, melainkan juga wajib menyertakan realitas sosial, baik yang historikal maupun yang faktual. Kajian komprehensif seputar sejarah-fakta terkini-dan teori yang membangunnya juga harus melalui kacamata empatik, melibatkan emosi agar jarak pengamat dan yang diamati berkurang semaksimal mungkin. Memilih tipe gerakan dengan empati akan membuat pilihan menjadi solid dan ideologis.

Dari semua teori dan sejarah gerakan sosial yang ada, tersurat jelas bahwa karakter utama gerakan yang berhasil bila ketika urusan bisnis tidak bercampur dengan urusan sosial dalam satu tangan, apapun alasannya.

Seorang Muhammad melepas kerajaan bisnisnya dan fokus ke advokasi/organisir (dakwah) massa Arab, sedangkan bisnis dihandle oleh umatnya; Karl Marx fokus menulis dan curah gagasan sedangkan Fredrick Engels fokus pada commercial firm untuk mensupport Marx; Che Guevara melepas posisi Menteri Kesehatan Kuba dan memilih menggerakkan revolusi di Bolivia, sedangkan urusan struktural dan bisnis diserahkan kepada Fidel Castro.

Bagi kapitalis, semua itu konyol. Alih-alih keuntungan jangka pendek yang teraih, dana tersedot untuk beternak kelas pekerja. Tidak ada perjanjian hitam atas putih yang memastikan dana akan kembali. Benarkah? Saat masa panen tiba, sekadar keuntungan material sangatlah remeh.

Pencerahan/advokasi/asesmen sosial politik ‘gratisan’ ternyata menghasilkan massa militan, terorganisir, loyal dan ideologis. Muhammad, Mao, Castro, Khomeini, Morales tidak meminta ‘upah’. Mereka hanya membangun sistem dan jaringan ekonomi mandiri yang memastikan setiap pekerja mempunyai basis ekonomi. Dengan kemandirian tersebut, mereka mampu membangun sistem ekonomi alternatif tanpa penghisapan ketika kapital menjadi milik pekerja dibagi untuk kesejahteraan kelas pekerja. Di Nusantara, praktik ekonomi massal ini diwujudkan dalam bentuk koperasi. Di manajemen modern dilembagakan dalam bentuk ESOP.

Dengan kata lain, semua gerakan sosial pada akhirnya juga bisnis, berujung pada profit. Namun rentang waktunya lebih panjang dengan skala lebih luas, dan kualitas yang bertolak belakang praktik bisnis kapitalis. Sebut saja praktik ini bisnis sosial. ‘Profit’ dari gerakan sosial, bila mau disebut demikian, adalah blessing dari kerja-kerja sosial tanpa pamrih demi tujuan tunggal: kemerdekaan kelas pekerja. Mereka boleh saja berstatus sebagai karyawan di suatu perusahaan, namun eksistensi mereka dihargai sebagai mitra kerja yang setara oleh manajemen dalam memajukan perusahaan. Lalu, profit mana yang bisa menandingi ‘kemerdekaan’ kelas pekerja? [andito]

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar