jump to navigation

Iwan Achmad Setiawan: “Saya tidak suka mengajak orang.” Februari 13, 2009

Posted by anditoaja in Testimoni.
trackback

Efek dari kemenangan Revolusi Islam Iran 11 Februari 1979 demikian luar biasa. Kajian terhadap ideologi yang meruntuhkan singgasana Reza Pahlevi dukungan lahir batin Amerika Serikat sejak itu merebak seantero jagad. Banyak kalangan yang heran mengapa seorang mullah tua, merujuk kepada sosok Ayatullah Imam Khomeini, bisa menghipnotis jutaan rakyat untuk melawan kaisar sebuah negara terkuat di Timur Tengah. Bahkan presiden AS saat itu, Jimmy Carter, dengan mengutip laporan CIA, berkata penuh keyakinan bahwa singgasana merak itu tidak akan goyah sedikit pun oleh aksi-aksi demonstrasi rakyat.

Tak ayal lagi, mazhab Islam Syi’ah yang dianut mayoritas rakyat Iran menjadi sorotan tajam. Selama ini masyarakat dunia hanya melihat mazhab Sunni sebagai representasi Islam yang sebenarnya.

Penyebaran Syi’ah di Indonesia mulai terasa sejak awal 80-an dan semakin meluas pada era 90-an. Syi’ah muncul sebagai wacana alternatif pemikiran Islam. Konsep Imamahnya menarik perhatian banyak kalangan, terutama dari kelompok Islam hardliner semacam Darul Islam, Islam Jamaah, dan Tarbiyah. Banyak yang eksodus, baik sendiri-sendiri maupun gerbong besar, untuk mengkaji ajaran mistik/tasawuf dan teologi mazhab tersebut. Terutama bila yang menjadi Syi’ah adalah tokoh sentral gerakan tersebut.

Dari sekian banyak pengagum Revolusi Islam Iran, tersebutlah Iwan Achmad Setiawan, seorang aktivis harakah masa 1978-1979. Sebelumnya, Iwan muda bercita-cita mendirikan daulah Islamiyah di Indonesia. Namun ketika terjadi Revolusi Islam Iran, Iwan berpikir, “Tidak mungkin ideologi yang salah akan melahirkan Revolusi Islam yang bagus.”

Rasa penasarannya tentang Syi’ah mulai dia seriusi setelah membaca buku “Dialog Sunnah-Syi’ah” (penerbit Mizan) pada 1983. “Hadis pertama yang paling saya ingat betul berkenaan dengan Imam Ali, Ana Madinatul Ilmi wa ‘Aliyyun Babuha.” Kenangnya.

Tak lama kemudian, ketika mengajar di Pengalengan karena tugas PNS, Iwan bertemu dengan seorang teman. Ia tokoh penting NII yang pernah dibui karena aktivitas mendirikan negara Islam. Ternyata ia sudah menganut mazhab Ahlulbait (Syi’ah). Di sinilah dialog semakin intens.

Selanjutnya Iwan diajak menghadiri pengajian seorang tokoh Majlis Tarjih Muhammadiyah di Bandung yang sudah mulai tertarik ajaran keluarga Nabi. Di sana Iwan bertemu dengan beberapa penganut Syi’ah dan juga aktivis HMI Cabang Bandung yang menolak asas tunggal ala Orba. Dalam istilahnya, “Merekalah yang sesungguhnya membuka hutan Islam Suni dan mengenalkan Islam Syi’ah di Indonesia.” (“Kami menerima Pancasila tapi menolak tafsir tunggal Orba”, kata mereka).

Semangat Misionaris

Seperti pada umumnya orang yang mendapatkan hidayah, semangat menggebu-gebu untuk mengenalkan Syi’ah kepada masyarakat luas juga bersemayam dalam diri Iwan. “Kayak orang yang baru kenal jurus, maunya praktik di depan banyak orang,” ujarnya sambil tersenyum simpul.

Sebagai pengurus Persis, sebuah ormas Islam puritan, kepindahannya ke Syi’ah terdeteksi dan diwaspadai. Disikapi demikian membuat semangatnya semakin membara. Hampir seluruh gaji dihabiskan untuk membeli buku dan disebarkan supaya orang-orang tertarik ajaran Ahlulbait, nama Syi’ah dalam dunia mistisisme Islam.

Hasilnya? Tidak ada, diakuinya. Sejak 84-an hingga 90-an, tidak ada orang yang berhasil digaetnya sebagai Syi’ah. Sikap merendah ini sebenarnya tidak seperti kenyataannya. Buku-buku Iwan yang beredar dalam 5 tahunan tidak sia-sia begitu saja. Di antara mereka, sang pembaca, menangkapnya pelan-pelan, berdiskusi terbatas dan merefleksi. Bila dihitung-hitung, 5 tahunan adalah waktu alamiah untuk mengubah seseorang dari tidak tahu menjadi tahu menjadi pengikut Syi’ah.

Contohnya adalah tetangga sebelahnya. Orangtuanya adalah jamaah Persis. Dia sekolahkan anaknya ke sebuah PTS di Bandung. Di sana, anak tersebut belajar dan membaca banyak buku, sampai ketemu ayat “Ulaika hum khariul bariyyah.” Dia penasaran dengan siapakah “khairul bariyyah” itu. Setelah mengkaji buku-buku tafsir lebih dalam, ternyata istilah Syi’ah sudah ada sejak zaman dulu. Diungkapkan dalam sebuah hadis, ketika ada Ali bin Abi Thalib dalam majelis, Rasulullah saw bersabda, “Anta wa syiatuka.” Ketika Ali tidak ada dalam majelis, dikatakan “Ali wa syiatuhu, ulaika hum khairul bariyyah.”

Proses kultural yang tidak disadari ini secara kebetulan juga mendapatkan momentum pencerahannya saat Iwan membaca sebuah artikel di Al-Tanwir, sebuah buletin dakwah Yayasan Muthahhari. Di dalam buletin itu dikatakan bahwa Syi’ah Ahlulbait tidak akan besar oleh kita dan tidak akan lenyap diinjak oleh kita. Kebenaran akan selalu hadir di mana pun.

Menularkan Syi’ah

Sepengetahuan Iwan, Syi’ah Pengalengan pada 91 cuma beberapa orang. Lepas 92, sudah mulai ada ratusan orang Syi’ah. Selain pemicunya adalah Al-Tanwir, penerbit Syi’ah, dan majelis taklim Syi’ah yang semakin banyak muncul, juga karena dimensi rasional masyarakat Pengalengan yang relatif rasional.

Pada masa itu, dimensi rasional ala Persis berhadapan dengan pemahaman spiritual yang tidak menemukan landasan argumentatifnya ala NU. Nah, Syi’ah hadir sebagai titik temu keduanya.

Menurut Iwan, pada dasarnya masyarakat Pengalengan sudah punya dasar keilmuan. Setelah tahu yang Syi’ah adalah Iwan, maka datanglah mereka kepadanya. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah belajar Syi’ah dan sekarang mereka ingin bertemu dengan orang Syi’ah. “Jadi, kedatangan mereka bukan hasil dakwah saya. Saya tidak mengajak mereka masuk Syi’ah.”

Mereka memang mencari Syi’ah dari beragam cara. Tetapi ketika mereka memasuki tatanan ibadah, dan juga saat memperingati Arbain, Muharam, semua kalangan itu mengikuti Iwan di mesjid. Mereka mengatakan, untuk masalah ibadah ikuti saja Pak Iwan. Iwan menduga, mungkin ia dianggap lebih representatif karena kedekatannya dengan ustad-ustad yang mengajarkan fikih.

Mendidik Alamiah

Iwan sekarang berbeda dengan Iwan muda saat menjadi “pejuang Islam.” Iwan sekarang lebih kalem. “Saya tidak suka mengajak-ajak orang. Di keluarga pun saya termasuk tidak ketat dalam pendidikan agama. Anak istri saya menjadi Syi’ah karena kesadaran sendiri, tanpa disuruh atau dipaksa.”

Biar bagaimanapun, komunitas Syi’ah Pangalengan tidak banyak. “Kalau masih di bawah sepuluh ribu ya sedikit, dong,” kelakarnya. Karena itulah, dengan jumlah itu Iwan mewanti-wanti betapa pentingnya mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan universal di masyarakat.

Menurut perhitungannya, ada seratusan lebih kepala keluarga Syi’ah di Pangalengan yang benar-benar mengamalkan fikih Syi’ah, termasuk cara salat dan sebagainya. Apabila digabungkan dengan para simpatisan awam bisa mencapai ribuan orang dengan asumsi mereka mempunyai istri dan 2-3 orang anak. Komunitas Syi’ah tersebar di banyak titik. Dari semua daerah tersebut, sebagian ada yang memiliki mesjid, majelis taklim, dan yayasan.

Melembagakan Jamaah

Beberapa kalangan sudah mewacanakan perlunya yayasan atau wadah resmi untuk menaungi komunitas Syi’ah di Pengalengan. Sekitar 1991, di Padasuka, berkumpullah beberapa aktivis Syi’ah Bandung berdiskusi tentang perlunya membentuk wadah resmi untuk menaungi komunitas Syi’ah di Pengalengan.

Awalnya Iwan tidak setuju dengan pembentukan yayasan tersebut. Iwan khawatir muncul konflik kepentingan. Pembentukan yayasan akan dituding sebagai sarana memobilisasi dana umat. Iwan lebih cenderung membiarkan komunitas Syi’ah berjalan apa adanya. Apalagi kondisi ekonominya sebagai PNS juga belum mumpuni.

Tapi kekhawatiran tersebut dihalau oleh rekan lain. Dikatakan bahwa yayasan diperlukan untuk melegitimasi bahwa Syi’ah itu sah/legal dan komunitasnya juga berhak hidup dan membaur dengan masyarakat sekitarnya. Lagipula keberadaan yayasan juga bisa dianggap mewakili semua.

Maka disepakatilah pembentukan lembaga tersebut. Ahmad Jubaeli menganjurkan nama 10 Muharram. Nama ini diambil untuk mengambil semangat Karbala, “Setiap hari adalah Asyura, setiap bumi adalah Karbala.”

Demi menjaga keharmonisan internal jamaah, pada aktivitas selanjutnya Iwan tidak meminta bantuan dari siapa pun untuk menghidupi yayasan ini. “Bahkan ketika saya membangun mesjid ini.” Kata pengagum Imam Khomeini ini sambil menunjuk bangunan seluas 60 m2 yang terletak beberapa petak dari rumahnya. Mesjid yang resmi berdiri 2004 itu rutin mengadakan majelis Doa Tawasul tiap Selasa malam dan Doa Kumayl setiap Kamis malam.

Mencari titik temu

Hal utama yang membuat dakwah Iwan bisa diterima di masyarakat adalah perilaku dan sikapnya terhadap anggota keluarganya. Pada awalnya pengikut Syi’ah hanya 15 orang lalu semakin berkembang. “Kata orang, mereka melihat keluarga saya kelihatannya tenteram dan harmonis. Terutama melihat sikap saya sendiri di masyarakat.”

Menurutnya, kita harus mencari titik kesamaan di antara perbedaan yang ada di masyarakat. Tidak heran Iwan mempunyai pergaulan yang luas dari beragam masyarakat di Pengalengan. Bukan hanya dari kalangan organisasi mazhab-mazhab di internal Islam, melainkan juga mendapat apresiasi dari kalangan non-Islam.

Penekanan mencari titik temu bukan sengketa turut mempengaruhi pandangannya dalam mengelola konflik di kalangan internal Syi’ah Pengalengan. Yang Iwan praktikkan adalah selalu menghindari untuk berbicara tentang ekonomi, karena nantinya akan dituntut untuk mewujudkannya. “Saya lebih senang berbicara tentang spiritual saja. Dan biasanya yang menuntut hal itu adalah orang Syi’ah juga.”

Iwan meyakini bahwa spiritualitas itu tidak terbatas pada ritus, seperti doa, tawasul dan sebagainya, tetapi dipraktikkan dalam keseharian. “Ada orang Cicalengka yang kalau tawasul itu sampai menangis dan pingsan. Tapi tetap saja dalam kesehariannya tidak menjadi acuan masyarakat.”

Menurut Iwan, kebanyakan orang awam tahu Syi’ah hanya dari “katanya.” Bukan dari sumber asli. Pernah ada kejadian di Pangalengan, salah seorang ustad Persis berkomentar miring tentang Syi’ah. Katanya Quran Syi’ah itu beda. “Saya bilang kepadanya, saya punya buku banyak dari Teheran, dan Qurannya sama. Tidak ada satu pun huruf yang berbeda dengan Quran dari Saudi.” Katanya mengenang.

Tidak heran, perilaku santun dan pedulinya menjadi salah satu hal yang menyelamatkannya. Pernah ada mobilisasi massa oleh salah satu tokoh agama untuk menyerbu penganut aliran sesat. Situasinya waktu itu sangat tegang. Ketika disebutkan bahwa yang sesat adalah Iwan, sontak seluruh kerumunan massa bubar dengan marah kepada tokoh agama tersebut. “Kalau mau mengusir Pak Iwan, langkahi dulu mayat saya!” Teriak salah seorang warga. Padahal jelas-jelas dia bukan Syi’ah.

Setelah itu pengajian tersebut tidak lagi seramai biasanya. Bukan karena diprovokasi atau apa, tapi “Orang sini hanya lihat buktinya, bukan sekadar omongan.” Yang mereka tahu, Pak Iwan itu Syi’ah dan perilakunya di masyarakat tidak menggelisahkan lingkungan. Bahkan dia adalah salah satu tokoh masyarakat yang peduli.

Menebarkan kasih ke umat Kristus

Kebanyakan kisah relasi antara umat Islam yang mayoritas dengan umat non-Islam, terutama Kristen, yang minoritas adalah penuh konflik. Di Pengalengan, Iwan membalik ritus ketegangan antar umat beragama tersebut. Iwan punya posisi yang unik. Selain sebagai tokoh masyarakat yang mengayomi beragam kalangan, dia juga dekat dengan kalangan non-Muslim, bukan formalitas melainkan juga empati dan emosional.

Fenomena ini bisa dimulai ketika dia mengajar di sebuah SMK. Apabila di dalam kelas ada yang beragama Kristen, Iwan selalu mengawalinya dengan salam “Assalamu alaikum dan salam sejahtera bagi kita semua.” Murid itu kemudian menceritakan ucapan tak lazim tersebut kepada orangtuanya. Sehingga Iwan diterima di kalangan Kristen.

Pernah ada kejadian, jemaah Kristen meminta bantuannya karena mau diserang oleh masyarakat Muslim dengan isu Kristenisasi. Berkat dialog persuasif, masyarakat tidak jadi menyerang. Sekarang malah ada keluarga Kristen yang mengizinkan anaknya masuk Islam asal diislamkan oleh Iwan.

Tak jarang pula Iwan berinisiatif apabila mereka membutuhkan pertolongan, baik materi maupun lainnya. “Saya selalu berusaha membantu karena itulah inti ajaran Ahlulbait yang saya pahami, cinta sesama manusia.” Katanya. Hingga kini, apabila ada hajatan, kalangan Kristen Pengalengan selalu mengundang Iwan.[Andito]

Syaban 1428

Komentar»

1. reza - Februari 13, 2009

syiah tidak percaya pada hadis2 Bukhari yang ditulis hanya 200 tahun setelah wafatnya Muhammad.

tapi malah percaya pada hadis2 Majlisi yang ditulis 1000 tahun setelah wafatnya Muhammad.

🙂

2. princess tautau - Februari 13, 2009

lah bukannya syiah selalu menukil hadis2 bukhari di buku2nya ? ada yg dipercaya ad yang tidak. begitu pula dengan hadis2 majlisi itu, ada yg dipercaya, ada yg tidak. Tergantung .

3. MOSLEM GOTHE - Februari 13, 2009

Semoga engkau saudaraku Pak Iwan selalu dalam kebahagiaan dan Kebaikan

4. Zoels - Februari 13, 2009

Boleh tahu email atau contact person pak Iwan?

@W

5. Mohammad Reza - Februari 13, 2009

Buat Pak Iwan: BRAVO!!!!
Buat yang laen: BELAJAR HADITS aja, jadi gak kira2 atau mingkin lagi…

6. Toby Fittivaldy - Februari 16, 2009

sebuah tulisan yang bagus…
hanya saja kurang redaksional…
contoh : pas ayat “Ulaika hum khariul bariyyah” tidak dicantumkan qur’an surat berapa.. ayat berapa… trus pas hadist tentang Ali juga tidak dituliskan perawinya… atau diambil dari kitab apa… btw tentang syi’ah aye masih musti banyak baca… soale masih minim datanya… tapi kalo jalaludin rahmat bukunya emang bagus… dan lumayan sering baca..
keep writing bro’

7. asoy deui.. - Februari 18, 2009

Salutte buat pak Iwan,
mengajari dengan perilaku/teladan dan bukan berarti tanpa nalar argumentasi yang “terang”.. tetap bersahabat dengan mazhab lain..

saya suka membayangkan, jika saja berbagai komunitas/mazhab Intern Islam [ atau salah satunya menginisiasi ] saling mengkoneksi antara satu dengan yang lainnya, entah itu gerakan koneksinya kekiri, kekanan, keatas maupun kebawah, ia akan mampu menghasilkan gerakan yang saling mendorong lalu kemudian melingkar, melingkar seperti gerakan tawaf haji kyk gtu..

gerakan mengkoneksi antara satu dan yang lainnya secara seragam, klo yg pertama menginisiasi/mendorongnya, misalnya kekiri, yang lain juga arahnya sama.. klo ada yang tidak berupaya menginisiasi kearah yang sama, akan terjadi tabrakan khan.. siapa orgnya akan dapat diidentifikasi segera, yang mendorong kearah yang sebaliknya, tentunya..

siapa yg menghendaki persatuan misalnya, akan bertabrakan kepentingan dengan siapa yg tidak menghendaki persatuan..

klo gitu ceritanya, maka hadis tentang “73 golongan dan hanya satu golongan yang benar” itu, mengindikasikan bahwa yang benar itu yang paling bisa melingkupi semuanya, yang paling getol menyerukan/melakukan tindak kebenaran ato yang paling benar menyerukan/melakukan sesuatu, yang cuma dia satu2nya golongan yang untuk saat sekarang ini, tidak menghendki perpecahan ummat,

karena ada fakta sejarah Islam yang menceritakan tentang keinginan seseorang atau sebagian ummat Islam yang tidak memberikan/menghendaki perpaduan diantara 2 kapasitas berkumpul dalam satu kesatuan individu muslim/institusi Islam yg didalam Al – Qur’an diidentifikasi dengan “orang yang mendirikan Shalat dan menunaikan Zakat (sekaligus atau dalam waktu bersamaan)”.. kyk gmana sholatnya itu ? mana bisa menambah gerakan lain dalam sholat, persepsi gerakan menunaikan zakat selama ini khan tidak bisa dimasukkan kedalam gerakan sholat,

Tapi Al-Qur’an tidak menyatakan mustahil untuk melaksanakan kedua gerakan tersebut secara sekaligus. Lagipula kata penghubung “dan” memiliki cakupan arti perilaku atau tindakan yang dikerjakan secara sekaligus.

Berbeda dengan konjungsi ato kata penghubung “atau” yang kedua kata yg dihubungkannya harus bernilai salah kedua2nya, baru nilai dari pernyataannya bernilai salah, selain itu maka pernyataanya benar.

Sedangkan konjungsi “dan” mengharuskan keduanya haruslah bernilai benar baru pernyataanyya benar, dalam hal menegakkan shalat dan menunaikan zakat, maka kedua perbuatan tersebut harus dilakukan, Dua-Duanya (sekaligus), apabila salah satunya tidak dikerjakan atau slah, maka nilai nya juga akan salah..

Siapa yg pernah melakukannya? Adalah dia ‘Ali bin Abi Tholib ra – Harapan selalu tercurah kepada Ahlulbait dan pecinta-nya ..

Susah klo melulu pake hadis bro.. Gk nyampelah. Banyak penyempitan dan penambahan sana – sini.. Bukankah dengan memberikan posisi hadis sebagai sumber hukum sekunder umat Islam kita sudah “menambah” dan “mengurangi” Al-Qur’an secara sekaligus..?

Kita sudah menambahkan sesuatu diluar al-Quran, dan Untuk apa kita menambahkannya, karena ada anggapan bahwa Al-Qur’an memiliki kekurangan khan.. Al-Qur’an sebagai sesuatu yg merupakan penerang segala sesuatu, lantas kita berusaha menggunakan sesuatu hal yang diteranginya itu untuk menjelaskan Al-Qur’an.. gk nyampelah reza [tanpa Mohammad]..

8. Planners - Februari 19, 2009

Salam
Bismihi Ta’ala

Untuk Pa Andito sang penulis artikel..

Adanya info tersebut sangatlah akan menjadi lebih baik dengan runtutan yang lebih sistematis dan lebih mengalir,

Bahasa yang redaksional dan mudah dipahami akan membuat kami yang membaca dapat memperoleh info dengan baik dan dapat catatan2 penjelas seperti sumber dan kelengkapan data atau argumen sehingga kami bisa benar2 mengerti

Terkadang keSyiah-an seseorang harus dibayar dengan berbagai kemiringan sudut pandang dr lingkungan..

Satu hal yg menjadi acuan adl biarlah org mlihat syiah dari kelembutan, kecerdasan dan kearifan tingkah laku dan langkah yg kita ambil.

Semoga bermanfaat.
Salam

kaum minoritas - Februari 8, 2010

sebetulnya bagi syiah yang namanya hadits [dalam pengrertian suni] itu tidak diperlukan, sebab hadits hanya diperlukan bagi mereka yang kehilangan/terputus mata rantai berita ttg sunnah rosul.
Di dalam ajaran syiah, mata rantai sunnah itu tdk pernah putus karena sebagai sumber/pintu ilmu bagi kaum syiah adalah Imam Ali,dan ali belajar lsg dari rosulullah kemudian imam slanjutnya Imam Hasan dan Imam Husain itu mereka belajar lsg dari imam ali, kemudian imam selanjutnya Ali zainal abidin dia belajar lsg dari bapaknya imam Husain. dan hal itu terus berlangsung terus sampai imam ke dua belas bahkan sampai sekarang.
Jadi dimana dan untuk apa kedudukn hadits itu sebab berita ttg sunnah dan produk2 hukum yang lain sudah mereka dapatkan secara sempurna dan terpercaya sebab mereka mendapatkanya dari keluarga sendiri yang memang kumplit dan terpercaya.
Ilmu ali yang yang didapat lsg dari rosulullah itu memang sudah sempurna tak perlu tambahan dari yg lain. Dalam sejarah tak pernh tercatat imam ali bertanya tentang sesuatu hukum kpd sahabat lain kalau sebaliknya sahabat yg lain bertanya kpd Imam Ali banyak tercatat dlm sejarah,itu membuktikan kesempurnaan ilmu Imam Ali. ilmu itulah yang diajarkan secara lsg dan turun temurun di keluarga Imam Ali yang diikuti oleh para pengikutnya.sampai sekarang.
Secara kasarnya para pengikut syiah tdk perlu membaca buku hadits untuk mengetahui ttg hukum2 islam bagi mereka cukup bertanya kpd keluarga Imam Ali [keluarga rosulullah] yang msh hidup.

9. adra - Juni 30, 2011

facebook p iwan achmad s: iwan_as58@yahoo.co.id

10. AHam Dani - April 16, 2014

innalillahi..,

11. baroyazaky - Mei 14, 2018

saya buuh alamat sekolah bebas biaya cicalengka yg programnya ijabi.
kami warga tasik ikhwan dari pekalongan jateng,kami butuh untuk anak kami.
trimksh…


Tinggalkan komentar