jump to navigation

Dirikanlah Negara Islam: Testimoni Seorang Romo Mei 27, 2009

Posted by anditoaja in Sosial.
trackback

Dialoque with a protective screen-33x30

Artikel ini pernah aku teruskan ke milis SMA Negeri 1 Bekasi karena menurutku menarik dan layak kita renungkan bersama. Sayangnya ada beberapa tanggapan yang, menurutku, berlebihan/mendramatisir sehingga membelokkan substansi kritiknya. Sebelum aku tanggapi, aku salinkan isi lengkap artikel tersebut:

Dirikanlah Negara Islam: Testimoni Seorang Romo

Dirikanlah Negara Islam
Hayo Dirikan Negara Islam
Segera Dirikan Negara Islam

Tapi….
Pastikan dulu gereja bebas didirikan
Pastikan dulu FPI dan FBR dikandangkan
Pastikan dulu penindasan minoritas berhenti
Pastikan dulu pemimpin umat dipenggal kalau korupsi
Pastikan dulu fakir miskin dan anak terlantar diurusi
Pastikan dulu Ahmadiyah dibiarkan hidup dan berkembang
Pastikan dulu kaum homoseksual dipenuhi haknya
Pastikan dulu wanita-wanita kami tak harus memakai jilbab
Pastikan dulu kesempatan politik dan ekonomi merata
Pastikan dulu umat Islam baik pendidikannya
Pastikan dulu mayoritas umat Islam sejahtera

Setelah itu…
Dirikanlah negara Islam yang rahmatallil alamin
Kami umat Katolik siap menjadi makmum yang setia
Karena toch kami minoritas adanya
Kami tak akan menyebarkan agama
Karena agama kami toh tak lebih bagus dari Islam anda

Tapi perlu diingat, wahai saudara
Bahwa kaum miskin memeluk Katolik bukan karena baiknya Katolik kita
Tapi karena pelayanan saudara Islam yang tak pernah menyentuh mereka
Bagaimana anda mau ngurus negara, ngurus mereka saja tidak bisa

Hayo, dirikan negara Islam Kita
Hukum Islam Anda adalah Hukum Islam Kita
Asal hasilnya Adil dan Sejahtera
Bukan hanya jargon pemilu belaka
Bukan pula hanya sekadar alasan untuk berkuasa

Amsterdam, berdasarkan kisah nyata

[Satrio Damardjati]

+++

Dari banyaknya ’protes keras’ yang mencuat dapat disimpulkan bahwa masalah simbol/judul sebuah keyakinan sangat rentan didiskusikan. Menurutku, semrawut debat ini dikarenakan ’agama’ dibicarakan dalam tiga ranah yang berbeda, yaitu:

  1. Agama sebagai nilai-nilai transenden. Dalam ranah ini, semua agama niscya setuju. Misalnya perintah saling menebarkan rahmat, kasih, damai, menyampaikan kebenaran, menerapkan sistem yang adil, peduli rakyat, membela yang tertindas, dll.
  2. Agama sebagai pembumian nilai-nilai transenden. Dalam ranah ini, agama telah mendapatkan definisi dan simbol khasnya, setidaknya harfiah Sansekerta dari ”tidak sesat”. Mulailah klaim penyempitan dan perluasan makna agama. Satu sama lain saling mengklaim kebenaran lembaga agamanya. Akhirnya, aku lebih sepakat bila konsep ini dilekatkan dengan teks ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Artinya, terlepas dari klaim masing-masing, juga dialog di internal agamanya tentang batasan ruang keselamatan, setiap pihak hendaknya saling menjaga diri untuk tidak menghina atau mengkritik ajaran agama orang lain. Setiap umat beriman wajib menunjukkan kesalehan sosialnya sebagai buah kesalehan ritualnya. Bagiku, konflik politik-ekonomi atas nama agama dan antar mazhab di masa lalu cukuplah sebagai pelajaran hidup, tidak perlu diaktualkan kembali di negeri ini.
  3. Agama sebagai buah penafsiran kita terhadap sebuah sistem keyakinan. Di sinilah benih konflik memuncak. Pemahaman kita atas sebuah teks atau ajaran, bagaimana dan dengan cara apa ia dipraktikkan sangat mungkin berbeda dengan rekan semazhab atau seagama kita. Tidak hanya itu, ekspresi keagamaan pun kadang bermakna agresi bagi pihak lain. Bila diteliti mendalam, pendirian ormas-ormas keagamaan di negeri ini, awalnya, adalah karena sentimen atas tafsir hukum agama. Untunglah kedewasaan dan keterbukaan informasi pada anak bangsa ini membuat konflik masa lalu antar organisasi keagamaan tidak menurun pada cucu buyutnya.

Lalu, bagaimanakah artikel ”Dirikanlah Negara Islam” diposisikan?

Setelah aku baca berulang-ulang, aku kelompokkan artikel tersebut dalam lima bagian: Harapan minoritas, Otokritik, Keinginan bersama (kalimatun sawa/common denominator), Garansi minoritas, Tujuan universal/objektif.

Harapan Minoritas. Cobalah baca kembali bait-bait di atas. Ada pesan yang jelas dari penulis bahwa di Indonesia Raya ini, ”penindasan minoritas berhenti”. Indikatornya:
gereja bebas didirikan, kaum homoseksual dipenuhi haknya, Ahmadiyah dibiarkan hidup dan berkembang, wanita-wanita non-Islam tak harus memakai jilbab, FPI dan FBR dikandangkan.

Bila dicermati butir-butir tuntutan itu, menurutku, masalah di atas berkenaan dengan supremasi hukum dan kebijakan tata ruang pemda setempat. Prinsipnya, pendirian tempat ibadat akan dimaklumi bila didukung oleh lingkungan. Umat Islam di Jakarta sulit mencari mushalla yang manusiawi di mal. Kalaupun ada, terletak di pelataran parkir, atap gedung, atau sudut bangunan/tangga. Sebaliknya, umat Kristen sulit mendirikan gereja di Madura, Banda Aceh, atau Martapura karena di sana hampir 100% Muslim. Seandainya setiap umat tidak memiliki ’kepekaan budaya’, niscaya rentan konflik.

Sedangkan masalah homoseksualitas bukanlah masalah Indonesia saja. Bagi penganut Katolik dan kaum Republikan di AS, homoseksual masih jadi aib besar. Meskipun legalitas pernikahan pasangan homoseksual meningkat, hal itu tidak mencerminkan pandangan Gereja.

Menurutku, negara Pancasila ini tidak perlu terlalu jauh mengurus eksistensi Ahmadiyah, dan juga agama lokal lain. Meskipun bagiku tidak ada hal yang menarik di Ahmadiyah, bukan berarti mereka layak dienyahkan begitu saja. Demikian pula tentang kewajiban berkerudung hendaknya tidak dijadikan aturan publik. Meskipun aturan menutup kepala ada di semua ajaran Abrahamik. Aturan dan landasan ideologi negara kita yang menurutku menghalangi pewajiban atau provokasi struktural atas penggunaan sesuatu simbol keyakinan tertentu kepada penganut agama lain.

Kita dapat bercermin pada pelarangan dan pembubaran Partai Komunis Indonesia di tahun 1966 untuk pembubaran Front Pembela Islam dan Forum Betawi Rempug. Aku sepakat dengan Franz Magnis-Suseno, misi utama PKI adalah mengganti ideologi negara Pancasila. Nah, apakah FPI dan FBR secara material juga menegaskan ingin mengganti ideologi Pancasila? Bila ’ya’, maka patutlah kedua organisasi tersebut dibubarkan karena dapat membubarkan NKRI. Namun bila ’tidak’, maka polisi hendaknya berani mengandangkan setiap oknum FPI dan FBR yang terbukti melanggar hukum.

Otokritik. Kita hendaknya jujur bahwa ajaran Islam masih disenandungkan secara simbolis. Dalam ’Nyanyi Sunyi Seorang Bisu’, Pramoedya Ananta Toer, memuji aktivitas lembaga gereja yang banyak membantunya menyediakan alat tulis untuknya dan membantu peningkatan kesejahteraan tapol di Pulau Buru. Apa yang dilakukan oleh lembaga keislaman? Mereka hanya mengirim juru dakwah yang masih belia yang secara intelektual kalah jauh dengan tokoh-tokoh PKI yang terbiasa membaca dan berdiskusi. Mereka hanya berkhotbah, tidak membantu alternatif ekonomi bagi tapol dan keluarganya yang ditinggalkan.

Tidak heran, pasca Gestok, banyak kader PKI yang notabene abangan beralih masuk Kristen. Ini sesuai kata penulis, ”Kaum miskin memeluk Katolik bukan karena baiknya Katolik kita; Tapi karena pelayanan saudara Islam yang tak pernah menyentuh mereka; Bagaimana anda mau ngurus negara, ngurus mereka saja tidak bisa?”

Kita harus mengakui bahwa perilaku ekonomi umat Muslim saat ini masih rendah. Seorang teman bercerita, bahwa masyarakat Tionghoa sudah terbiasa konversi iman, dari Kong Hu Cu/Budha ke Katolik atau Kristen. Namun sangat jarang yang migrasi ke Islam. Mengapa? Stereotipe bahwa menjadi Muslim itu susah hidup, cenderung miskin dan melarat. Umat Islam punya beban sejarah meningkatkan pencitraan kemuliaan dan kebanggaan Islam di hadapan umat lain.

Kita juga mesti berlapang dada bahwa penegakan hukum kita masih pandang bulu. Di mata minoritas non-Islam, slogan penegakan hukum agama hanya mengurus permukaan saja, tidak ke akar masalah. Rakyat sudah muak melihat sandiwara pengadilan yang setengah hati menghukum pejabat publik yang korup, yang banyak beragama Islam dan/atau berasal dari partai Islam. Padahal uang negara yang diselewengkan itu adalah hak fakir miskin dan anak-anak terlantar yang mayoritas juga Muslim. Tentu kita masih ingat penyelewengan dana non-budgeter haji dan tikus-tikus di departemen agama. Mereka, orang-orang Islam itu, membuat sistem sehingga korupsi menjadi biasa dan wajar. Tidak salah kiranya, penulis berkata, ”Hukum Islam jangan hanya jargon pemilu belaka; Bukan pula hanya sekadar alasan untuk berkuasa.”

Keinginan Bersama. Penulis itu tidak hanya menebar kritik. Ia juga memberikan solusi, bahwa ”Kesempatan politik dan ekonomi merata; umat Islam baik pendidikannya”, agar ”mayoritas umat Islam sejahtera.” Secara implisit penulis menegaskan bahwa kebobrokan negara ini hakikatnya bukan karena masalah agama, melainkan disumbatnya keran partisipasi warga dalam politik dan ekonomi. Rezim Orde Baru menjadikan feodalisme sebagai urat nadi praktik berbangsa dan bernegara. Semua lembaga dan ajaran agama dilemahkan agar tidak menjadi alat perlawanan.

”Mayoritas umat Islam sejahtera” akan berefek pada kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Konflik-konflik antarwarga berkurang drastis karena peningkatan kesejahteraan berbanding lurus dengan peningkatan intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas. Umat Islam tidak akan mudah diprovokasi. Warga non-Islam tidak merasa diintimidasi. Karena itulah penulis memberikan Garansi Minoritas/Pesan Damai: ”Kami tak akan menyebarkan agama; Karena agama kami toh tak lebih bagus dari Islam Anda.” Apalagi sih yang dicari selain kedamaian hidup?

Apabila semua persoalan umat beragama ini sudah didudukkan secara proporsional dan warga non-Muslim merasakan manfaat sosial-ekonominya, maka semua anak bangsa akan setuju dengan Tujuan Universal/Objektif, bahwa: ”Hayo dirikan Negara Islam kita;
Hukum Islam Anda adalah Hukum Islam Kita; Asal hasilnya Adil dan Sejahtera.” Dalam ranah ini, konsep dan bentuk negara Islam akan dibela mati-matian oleh warga non-Islam, karena mereka melihat ”Islam rahmat bagi semesta alam.” [andito]

Komentar»

1. bullshit - Mei 28, 2009

Sombong banget sih noh orang. Isi blog lo tuh bullshit semua. Ga ada apa2nya asal elo tahu aja. Elo masih bangga? Bangga akan ketololan elo. Norak banget gitu loh, yang penting asal beda..padahal nol. Baru buku baca sedikit aja udeh merasa pintar kali. Tipikal wannabe JIL nih.

2. agiek - Juni 1, 2009

@bullshit
melihat komen anda, saya jadi tau siapa yang lebih intelek antara penulis dengan anda. 😀

@andito
inspiratif +1

mau share postingan ini di facebook, tapi gimana ya caranya?

3. Manusia Biasa - Juni 3, 2009

2 jempol untuk Andito yg mau menganalisis dan mengekspresikan pendapatnya dengan dasar-dasar dan logikanya.

Untuk bullshit: I am really sorry about yourself. Kalau hanya maki, orang yg tidak berotak saja bisa… biasanya semaik hebat makiannya semakin kosong tempurung kepalanya…

4. dimas - Juni 9, 2009

hidup orang Banjar

5. ejajufri - Juni 15, 2009

@ bullshit : izinkan saya ngasih kaca ke anda 😀

@ mas andito : kata-kata “bebas” dalam mendirikan gereja kok “serem” ya.. kalau misalnya ada negara islam, tentu pendirian gereja akan diatur sbgmn fikih mengatur.. tp saya setuju asal lingkungan mendukung, yakni di linkungan mayoritas katolik..

saya garis bawahi juga : “kesalehan sosial buah kesalehan individu” sip..

yg jelas, melihat kondisi negeri ini sekarang, ya umat yg mayoritas yg bertanggung jawab 😥

ps. mas andito, ini saya azerila.. kalau gak keberatan blogroll nya diubah ke alamat ini (Dahulukan Islam di Atas Mazhab) 😳 sukses trus buat kerjaanya 😀

6. Aldi Karmawan - Desember 28, 2009

luar biasa , analisa dari mas Andito,..menarik untuk di telaah buat teman teman sesama muslim ,..ini adalah PR bagi kita semua yang merasa sebagai warga Indonesia dan khususnya umat muslim.

7. Ibeng - Desember 28, 2009

Lumayan buat masukan.walau ada beberapa point,yang tidak saya setujui.

8. rio - Desember 28, 2009

Tuhan itu satu, lalu kira-kira agama mana yang Tuhan inginkan? saya rasa setelah melihat seluruh agama,Islam jawabNya..lalu Islam macam apa yang diinginkan? islam yang saat ada pemeluknya yang kritis, bukannya menyerang agamanya sendiri, menjemur baju kotor di pekarangan, tapi memberi kritik membangun untuk stakeholder permasalahan

9. Tony - Desember 29, 2009

Banyak point-point yang saya setujui. Memang, kita harus melihat hal ini secara jernih, dan tanpa emosi. Anggap saja ini umpan balik positif bagi umat Islam di negeri ini.

10. wahyudin - Februari 19, 2010

okok tapi kapan
apa kita hanya mendirikan syariat islam di blog doank??
mana semangat MUHAMMAD


Tinggalkan Balasan ke dimas Batalkan balasan