jump to navigation

Rini Gaza Januari 19, 2009

Posted by anditoaja in Perempuan.
trackback

 009naji-benaji-4

“Jangan takut disiksa oleh manusia, dan takutlah kepada Allah, karena sesungguhnya penderitaan karena menegakkan agama Allah dan membela kaum tertindas adalah jalan tercepat menuju Allah”.

Itulah ucapan Sayyidah Zainab binti Ali dalam mimpi Rini, yang membuatnya berkenan orasi dalam demo anti Zionis Israel dan genosida di Gaza di depan kedubes Amerika Serikat, Sabtu 17 Januari 2009.

Namanya Rini Astuti. Bibit aktivisnya sudah tertanam sejak menjadi murid sekolah menengah di Medan. “Orangtuaku sering mendidik saya agar peduli dengan penderitaan orang lain.” Ujarnya suatu ketika. Kuliah di Psikologi Universitas Pajajaran semakin meluaskan darah gerakannya.

Hanya bersama 3-4 teman perempuannya, ia sering membuat seminar, diskusi dan kajian bertema logika, filsafat dan pemikiran keagamaan. Aktivitas-aktivitas tersebut membuat gerah teman-temannya sekampus. Saat itu gerakan keagamaan memang marak di kampus. Pada umumnya mereka memandang perempuan sebagai makhluk yang belum selesai berevolusi, dan hanya bisa menjadi manusia yang utuh setelah berperilaku sebagai ‘istri salehah’.

Setelah sarjana, ia sempat bekerja selama dua tahun di sebuah LSM asing membina anak-anak dan perempuan korban tsunami di NAD. Kini ia menjadi kepala sekolah sebuah taman kanak-kanak di daerah Jakarta Timur, mengembangkan sistem multiple intelligences gagasan Howard Gardner. Sistem pendidikan tersebut memandang anak sebagai makhluk yang unik. Karenanya ketidakbisaan anak pada suatu hal bukanlah sebuah kekurangan, pasti ada hal lain yang bisa diaktualkan. “Melihat mereka tertawa lepas adalah kebahagiaanku yang luar biasa.” Katanya.

Pada hari Kamis itu, Rini diminta Nahrowi untuk orasi dalam demo anti Zionis. Namun ia tolak secara halus. Ia hanya ingin ikut tanpa harus orasi. Ia tahu, dalam perhelatan tersebut pasti akan menampilkan tokoh agama kaliber ibukota. Ia belum yakin apakah mereka akan merestui orator perempuan. Dalam berbagai aksi demonstrasi anti Zionis Israel yang ia ikuti selama ini, ia belum pernah melihat ada orator perempuan di komunitas kita dengan audiens yang plural. Toh, lagipula, ia memang tidak punya ide akan orasi apa.

Malamnya, ia bermimpi melihat Sayyidah Zainab di istana Yazid bin Muawiyah dengan pakaian compang camping dan penuh darah. Sayyidah Zainab menatap Rini. Meskipun bibir beliau tidak bergerak, Rini merasakan bahwa beliau berkata, “Jangan takut disiksa oleh manusia, dan takutlah kepada Allah, karena sesungguhnya penderitaan karena menegakkan agama Allah dan membela kaum tertindas adalah jalan tercepat menuju Allah”. Keesokan harinya ia konfirmasi ke Nahrowi bahwa ia bersedia orasi.

Isu utama demo adalah mengutuk Israel dan Amerika. Tapi karena Rini perempuan, ia menyuarakan penderitaan ibu-ibu dan anak-anak Gaza. Setelah turun panggung, ia dapat komentar dari perempuan lain, “Kok, berani sih orasi di depan gitu?” Tapi komentar perempuan-perempuan yang lain sangat positif. “Bagus, mbak! Besok-besok orasi lagi ya.” Rini belum mendengar komentar para tokoh agama yang hadir. Yang pasti sebelum ia orasi, Nahrowi sudah memberi tahu Habib Hassan Alidrus.

Dengan hadirnya Rini, panggung demonstrasi menjadi lebih adem. Bukan karena tampangnya yang lumayan cantik. Tapi karena demonstrasi butuh keragaman perspektif dengan isu yang tunggal. Secara tidak langsung, Rini ingin mengatakan bahwa demo anti genosida di Gaza adalah demo universal, tidak milik agama dan kelompok tertentu, apalagi milik laki-laki. Selain itu, kehadiran orator perempuan membuat polisi yang berjaga-jaga di sekitar arena demonstrasi bisa sedikit tenang bahwa demo ini tidak akan berbuntut aksi anarkis.

Demo telah usai. Setiap orang yang ikut demo, yang tidak sempat, dan tidak mau ikut punya alasan-alasan tersendiri. Rini ikut demo anti Zionis karena rasa kepeduliannya. Bahkan jadi srikandi podium karena bermimpi khusus.

Namun hingga kini Rini masih resah. Jumlah korban di Gaza terus meningkat dan ia merasa belum juga optimal. “Ketika masih di kampus, banyak hal yang bisa aku perbuat. Aku tidak ingin energiku habis untuk kerja-kerja teknis.” Ia selalu ingat ungkapan kunci Sayyidah Zainab, “Membela kaum tertindas adalah jalan tercepat menuju Allah.” [Andito]

Komentar»

1. arif - Januari 19, 2009

Bermimpi seseorang yang kita kasihi, entah itu penyingkapan maknawi ataupun bentuk, selalu membawa rasa iri kepada saya. Meski menurut Ibn ‘Athaillah, hal semacam itu bukan suatu keutamaan, tapi saya percaya bahwa tidaklah mungkin seseorang bermimpi seseorang kecuali ia punya ‘sesuatu’ dengan objek yang dimimpikannya. Kepada saudari Rini, teruskanlah peran Zainab Anda sampai Anda mendapatkan ‘keyakinan’.

2. Mohammad Reza - Januari 19, 2009

Emak saya tuch Bang… hehehe…

3. faizalkamal - Januari 20, 2009

waow. . . di kasih mesej ma yang di obrolin di blognya mas,
katanya sebagai bukti otentik kehadiran dia di Dubes Yahudi kmaren.
Emang Cewek Hebat tuh ibu satu ini.
semoga mimpinya jadi kenyataan bertemu idolanya.

salam hormat, tukmas andito

4. Kalb al-Hussain - Januari 20, 2009

The Rini that I Know…:D

5. devie - Januari 20, 2009

bagus sekali memang acara demo kemarin. mudah2an besok2 kalo ada demo lagi, ada perwakilan akhwat yg orasi. kok ga dari dulu aja yaa.. oh ya, kalo boleh usul, untuk mempermudah naik ke atas tempat orasi, ada baiknya disediakan tangga kecil (kan ada tuh yg plastik)..


Tinggalkan komentar